MAKALAH
Wanita Dalam Budaya Jawa
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam Dan Budaya
Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI
Disusun oleh:
Ikha Ruqmahayunita NIM. 113511016
Muhimmatul Aliyah NIM.
113511021
Sofia Sekar Anggreavi NIM. 123511072
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
Wanita dalam Budaya Jawa
I.
PENDAHULUAN
Menjadi wanita ataupun pria di dunia ini bukanlah suatu pilihan, namun
menjadi hal yang hak yang diberikan Allah SWT pada makhluknya. Dalam kajian Jawa,
wanita sering disebut sebagai kanca wingking. Di mana seorang wanita menggantungkan
seluruh jiwa-raganya pada sang suami. Mereka bertugas meladeni sang
suami dan tak terkecuali tugas mendidik anak-anaknya.
Dewasa kini banyak orang meneriakkan tentang emansipasi wanita. Namun tak
sedikit dari mereka yang kurang memahami arti dari emansipasi yang telah
diperjuangkan pahlawan wanita dari Jepara, R.A Kartini. Mereka hanya melihat
dalam sisi wanita bukan lagi sebagai alat sang suami, sehingga mereka dapat
meninggikan jabatan di atas laki-laki, akan tetapi melupakan kodratnya sebagai
wanita Jawa.
Oleh karena hal tersebut, penulis bermaksud mengkaji tentang wanita dalam
budaya Jawa. Seorang wanita dapat mengejar karier atau cita-citanya tanpa
melupakan kodrat yang telah ditentukan Allah SWT. Menurut Abdul Halim Abu
Syuqqah disebutkan firman Allah tentang keseimbangan antara hak dan kewajiban
Istri yang artinya “... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(al-Baqarah: 228)[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian wanita Jawa?
2.
Bagaimana
peranan
wanita Jawa?
3.
Bagaimana
karakteristik
wanita Jawa?
4.
Bagaimana
kekuasaan wanita Jawa?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Wanita Jawa
Penduduk asli Ibukota Jakarta berbicara dalam
dialek Melayu-Betawi. Di bagian selatan dan tengah Jawa Barat berbicara dengan
bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian Utara dan Timur sudah lama dihuni
imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa aslinya. Namun bahasa Jawa
yang digunakan di dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat
sampai ke Cirebon cukup berbeda dalam arti bahasa Jawa yang sebenarnya. Orang
Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa Jawa
dalam arti yang sebenarnya dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jadi
orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang
berbahasa Jawa.[2]
Wanita ialah perempuan dewasa.[3] Dalam buku Kuasa Wanita Jawa disebutkan bahwa
kata wanita lebih digunakan daripada kata perempuan karena kata tersebut lebih
dekat dengan kesadaran praktis masyarakat Jawa. Kata wanita
berasal dari kata wani yang berarti berani, dan ditata yang berarti diatur. Artinya, seorang wanita
adalah sosok yang berani ditata atau diatur.
Dalam buku yang
sama, ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar mengungkapkan bahwa wanita berasal
dari kata wani yaitu berani dan tapa yaitu menderita. Wanita
merupakan sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Misalnya adalah
seorang wanita Jawa yang rela menjalankan laku tapa dengan berpuasa atau
berpantang demi anak dan suaminya.
Selama ini kita
sering beranggapan wanita Jawa adalah wanita yang dipingit, jauh dari peradaban.
Namun anggapan tersebut dapat dibantah dengan pengertian bahwa wanita Melayu[4]
sebenarnya berperan secara tradisional aktif. Masyarakat tidak mengeyahkannya
masuk pingitan ke dalam rumah. Mereka diizinkan melakukan kegiatan ekonomi
seperti berdagang di pasar ataupun bekerja di sawah layaknya laki-laki. Dalam
hal tersebut tentu wanita dan laki-laki menikmati status sosial yang relatif
sama.[5]
Wanita dalam
pengertian perempuan dewasa merupakan sosok yang mampu menyelesaikan
masalahnya, mampu berfikir logis, juga siap dengan tugas-tugas sebagaimana
seorang wanita pada umumnya. Wanita bukan lagi seorang
perempuan sebagaimana sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun wanita disini telah
mempunyai tanggung Jawab penuh terhadap tugas-tugas yang di embannya yang mana
nanti akan menuju pada kodratnya yaitu sebagai ibu rumah tangga.[6]
2.
Peranan Wanita Jawa
Dalam kaitan dengan realitas, sering muncul pertanyaan, “Mengapa
diciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan ?.” Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat melihat
makna dari surat Al-Baqarah: 30, “Wanita dan pria diciptakan oleh mitra yang diberi
tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupan.
Keduanya juga diberi tanggung jawab untuk mengelola alam semesta beserta
seluruh isinya.[7]
Peran adalah
keikutsertaan secara aktif, partisipasi, ikut ambil bagian dalam suatu
kegiatan.[8] Kata peran dalam wanita Jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif
sesuai adat istiadat Jawa. Berbagai peran tersebut dapat penulis jelaskan
sebagai berikut:
1.
Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
Dalam budaya Jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar
dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar terhadap sekitarnya. Peran yang
sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis dari
masyarakat Jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih memilih ikut anak wanita
daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa ngrumati (merawat), aturan pembagian warisan dapat
dirundingkan kembali jika ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan
dan menghindari konflik.[9]
2.
Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
Peran wanita Jawa terutama ibu
mendapatkan pemujaaan penuh dari orang-orang Jawa. Niels Muder seorang
sosiolog yang melakukan riset di Jawa mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat
dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan, hadir untuk
anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[10]
Sebagai simbol moralitas, kebajikan,
pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung Jawab, wanita yang posisinya sebagai ibu memikul beban
idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari
segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah
moralnya meneguhkan dirinya menjadi figure dominan dalam kesadaran dan hati
nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
Hal tersebut terjadi karena sejak
awal pertumbuhan sebagai pribadi, sosok pertama yang dikenali anak hanyalah
ibu, sebab dalam budaya Jawa ibu mengemban tugas utama untuk mengemban dan
mendidik anak. Oleh sebab itu
mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti dengan alasan apapun, adalah
sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa menyebabkan perasaan bersalah
dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat dengan ibu, setia padanya, menjadi sesutau yang amat penting untuk
menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya (kehendak
yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui perbuataanya akan
mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
3.
Wanita berperan
dalam ketergantungan anak laki-laki
Dalam hal ketergantungan, biasanya
anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita. Ketergantungan adalah
sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih mempunyai kesadaran atas
status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki yang selalu dimanja
menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita daripada wanita bergantung
pada laki – laki. Hal tersebut menunjukan bahwa pengaruh ibu sangat besar pada
jiwa anak laki-lakinya.
4.
Wanita Jawa sebagai konco wingking dan garwa
Konsep paternalistik yang berkembang
dalam masyarakat Jawa menjadikan wanita sebagai konco wingking. Seorang sesepuh Dusun Klutuk secara tegas
mengatakan : “ mulo bukane wong wedok ki
konco wingking seko kitab suci. Naliko Gusti Allah nitahake manungso sing
sepisan kuwi sing dititahake wong lanang dhisik, bar kuwi nembe wong wadon sing
dijupuk saka igane bapa Adam sing sisih kiwa. Wis mung iga, sisih kiwa pisan.
Pokoke wong wdok ki drajate luweh cendhek tinimbang wong lanang. Upama tangan
tiba tangan kiwa, upama awak tiba bokong.”[11]
Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita
sebagai konco wingking berlaku sebagi kondisi sak prayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya Jawa. Tampaknya,
ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya berkembang dalam arena publik orang Jawa. Jadi secara
publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki ataupun wanita Jawa
sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat wanita dipandang
lebih rendah daripada laki-laki.
Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang
berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan melihat
situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka lebar
kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai konsep-konsep
tersebut. Konco wingking misalnya
menjadi orang
yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, atau kurang menentukan.
Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri,
tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan menjadi apa film itu
nanti.
Dalam kehidupan
sehari-hari jelas bahwa wanita berperan besar di dalam keluarga dan masyarakat.
Wanita begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan dalam keluarga karena
anggapan umum bahwa apiking suami gumantung istri, apiking anak gumantung
ibu (baik tidaknya suami tergantung dari istri, baik tidaknya anak
tergantung dari ibu). Dominasi konsep swarga nunut, neraka katut (ke
surga ikut, ke neraka terbawa) dimaknakan pada wanita Jawa. Anak dan suami bagi
istri (wanita) merupakn cerminan kepribadian, keberhasilan, bahkan kegagalannya
sendiri sehingga seorang wanita berusaha keras garis hidup anak dan suaminya
baik untuk mencapai surga.[12]
3.
Karakteristik
Wanita Jawa
Dalam sebuah buku karangan M.N. Ibad
menceritakan, meskipun surga adalah hunian super mewah dengan segala fasilitas
yang super lengkap, namun Adam a.s tak bisa menjalani kehidupan disana
sendirian. Ia butuh sosok perempuan yang kehidupannya seperti dirinya. Sosok
yang tidak hadir dalam diri bidadari, yang nyata, yang menjadi tempat berkeluh
kesah dan bisa merasakan apa saja seperti yang dirasakan. Oleh karena itu,
Allah SWT menciptakan Hawa sebagai pasangannya. Makhluk yang dilengkapi hati
dan pikiran, indera dan pikiran, indera dan jasad yang sama seperti dirinya.[13]
Hal ini menunjukkan wanita sangat berpengaruh dalam hidup laki-laki.
Pada hakikatnya perempuan dikenal
lemah lembut,cantik, emosional dan keibuan. Karakteristik tersebut yang
mengawali timbulnya ciri-ciri wanita ideal terutama dalam kebudayaan di Jawa. Didalam
kebudayaan Jawa, wanita sering disimbolkan sebagai “pedharingan” alias periuk.
Dahulu periuk adalah tempat menyimpan beras atau menanak nasi. Ini diartikan sebagai
fungsi perempuan untuk menyimpan harta benda yang dicari suami, kemudian
mengolahnya untuk kelangsungan hidup keluarga. Fungsi tersebut sebagaimana
seorang sutradara yang berperan di belakang layar. Dimana seorang istri sangat
berpengaruh dalam menentukan keputusan rumah tangga. Berikut ciri perempuan
ideal yang dikutip dari Serat Candraning Wanita[14]
:
a.
Mrica
Pecah atau Butiran Mrica yang Pecah
Perempuan dalam kategori ini adalah
perempuan yang digambarkan sebagai perempuan yang berbadan ramping dan padat,
dengan kulit putih dan dada yang montok. Sifat dari ciri utama perempuan ini
adalah kemampuannya yang dengan mudah dapat diterima di berbagai kalangan, tapi
sangat rapat menyimpan rahasia. Perempuan seperti ini dikatakan akan membawa
kebahagiaan kepada pasangan yang memiliki kedudukan yang tinggi, karena
kemampuannya untuk mendampingi suami dalam berbagai kesempatan sekaligus kemampuannya untuk dapat
menutup mulut dan menjaga kehormatan suami.
b.
Surya
Sumurup atau Matahari Tenggelam
Bagikan semburat jingga di langit ketika mentari tenggelam, perempuan
seperti ini membawa keindahan dan menampilkan keindahan yang luar biasa. Tidak
hanya indah secara fisik, tapi juga dipercaya mampu menjadi kebanggaan pasangan
karena kesetiaan luar biasa yang dimilikinya. Ciri fisik perempuan ini adalah
bibirnya yang berwarna merah jambu, dengan sorot mata yang agak kebiruan.
Rambut di dahi digambarkan kuncup seperti bunga turi, dan alis perempuan dalam
tipe ini digambarkan memiliki alis yang melengkung indah seperti bulan sabit.
Bukan hanya secara fisik dan kesetiaan, bahkan digambarkan, perempuan ini
sanggup memberikan perlawanan yang berarti dalam urusan pertarungan asmara.
c.
Menjangan
(Macan) Ketawan atau Kijang (Harimau) Tertawan
Perempuan seperti ini digambarkan
memiliki sifat yang siap dan akan selalu memberikan perlawanan yang pas bagi
pasangannya, sehingga sang pasangan tidak akan pernah merasa bosan karena
bersanding dengan perempuan seperti ini bagaikan petualangan menyenangkan dan
selalu memberikan kejutan yang menarik untuk di selami. Secara fisik perempuan
seperti ini memiliki gambaran wajah yang cerah ceria, mata yang terbuka lebar
dan terlihat bersemangat, kulit yang bercahaya, memiliki sifat yang keras, tapi
murah hati dan selalu menolong. Fisik perempuan dalam kategori ini tergolong agak
besar walaupun tidak berarti tegap. Wanita dalam golongan seperti ini tidak
mudah tergoda dan mampu memberikan kehangatan kepada pasangannya.
Menurut versi lain tentang
karakteristik wanita atau perempuan dalam budaya Jawa tercantum dalam buku
Kuasa Wanita Jawa karangan Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto bahwa disebutkan
karakteristik wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa yaitu[15]
:
a.
Bertutur
Kata yang Halus
b.
Tenang
atau Kalem
c.
Tidak
Suka Konflik atau Mementingkan Harmoni
d.
Menjunjung
Tinggi Nilai Keluarga
e.
Mampu
Mengerti dan Memahami Orang Lain
f.
Sopan
g.
Pengendalian
Diri Tinggi dan Terkontrol
h.
Daya
Tahan untuk Menderita Tinggi
i.
Memegang
Peranan Secara Ekonomi
j.
Setia
atau Loyalitas Tinggi
4.
Kedudukan
Wanita Jawa
Dalam kultur Jawa terdapat beberapa adat yang
bersifat paternal. Pertama, aturan perceraian tentang pembagian harta perolehan
bersama (gono-gini) saat perceraian suami mendapat dua bagian dan istri
mendapat satu bagian. Kedua, konsep sepikul segendongan dalam pemabagian
warisan maka anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan satu bagian.
Ketiga, adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian anak wanita oleh
saudara laki-laki dari pihak bapak Namun dalam praktiknya ikatan dan konsepsi
itu jarang dilakukan.[16]
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sistem
pertalian masyarakat Jawa adalah bilateral. Pertalian keluarga simetris
terhadap paternal dan maternal. Keturunan dihitung secara sama di antara
saudara dari kedua jenis, laki-laki maupun wanita dan masing-masing mempunyai
hak mewarisi harta dari pihak ibu dan bapak. Konsep bilateral ini lebih tampak
dalam kehidupan sehari-hari daripada konsep paternal. Misalnya, konsepsi garwo
(istri) tidak hanya sebagai konco wingking melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan
jiwa/separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa memberi gambaran posisi
sejajar dan lebih egaliter. Karena suami istri adalah dua yang telah menjadi
satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas.[17]
Sosok ibu (wanita) dalam kultur Jawa memiliki
posisi yang sangat penting sekaligus dipandang sebagai pusat rumah yang selalu
dipercaya dan dihormati lebih dari segalanya. Sedangkan posisi bapak lebih
menjadi simbol dunia luar yang harus ditaklukkan dan tidak selalu terkait
dengan moral.[18]
Berdasarkan konsep yang berkembang dalalm
kultur Jawa bahwa ibu adalah simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri
suami dan anak-anaknya serta kekuatan feninitasnya yang luar biasa untuk
menopang, melindungi, dan sumber inspirasi nagi anak-anak. Wanita Jawa strategi
untuk bisa mendapatkan kedudukan dan pengaruh dalam kekuasaan melakukan
penaklukan diri ke dalam dengan cara memangku dan mengabdi total pada
keluarga.[19]
Apabila kaum laki-laki sudah merasa dipangku
dan merasa ketergantungan dengan kaum wanita maka apapun yang menjadi
keinginan wanita tersebut akan dipenuhi. Secara tidak sadar hal tersebut bisa
mempengaruhi hal-hal yang berhubungan dengan urusan publik walaupun melalui
jalur non publik. Contoh yang paling mudah adalah kasus pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ide
pembuatan TMII dilontarkan oleh Tien Soeharto. Pada tahun 1971-an anggaran
pemda sangat minim. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut, Ali Sadikin yang
waktu itu menjadi gubernur DKI Jakarta melegalkan kasino, membuka tempat
hiburan dan pelacuran. Ia mengatakan upaya ini bagian dari melayani masyarakat.
Selain anggaran pemda yang tidak ada, pembangunannya juga ditentang masyarakat
dan didemo mahasiswa. Akan tetapi TMII tetap berdiri sampai sekarang ini. Hal
ini membuktikan wanita yang berada di sektor domistik atau privat dapat
mempengaruhi kebijakan publik formal yang mestinya harus melalui berbagai
tahapan sidang di lembaga eksekutif maupun legislatif. [20]
Pada hakikatnya pandangan hidup orang Jawa khususnya wanita Jawa. Yaitu
dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individual yang homogen, serta
di dalamnya Allah selalu memberikan keselamatan.[21]
IV.
KESIMPULAN
Wanita Jawa adalah
perempuan Jawa dewasa yang berbahasa ibu Bahasa Jawa dan tinggal di bagian
tengah dan timur Pulau
Jawa. Jadi tidak semua wanita yang tinggal di pulau Jawa
disebut wanita Jawa. Wanita Jawa mempunyai beberapa peranan diantaranya:
1. Wanita
Berperan sebagai Posisi Sentral
2.
Surya
Sumurup atau Matahari Tenggelam
3.
Menjangan
(Macan) Ketawan atau Kijang (Harimau) Tertawan.
Wanita Jawa adalah sosok
perempuan dewasa yang berani diatur serta berani menderita, yang bersesuaian
dengan konsep karakteristik wanita Jawa dalam kultur Jawa sendiri yaitu bertutur kata yang halus, tenang atau kalem, tidak
suka konflik atau mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu
mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi dan
terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi,
dan setia atau loyalitas tinggi.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga
makalah ini dapat memberi manfa’at untuk penulis khususnya dan untuk pembaca
pada umumnya. Kritik dan saran yang
membangun kami harapkan dari pembaca untuk karya-karya penulis selanjutnya.
Akhir kata, kami sebagai pemakalah memohon maaf apabila ada kesalahan dalam isi
makalah maupun sistematika penulisan makalah ini. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Syuqqah , Abdul Halim, Tahrirul Mar-ah fi ‘Ashrir Risalah, diterjemahkan
oleh Chairul Halim, Kebebasan Wanita jilid 1, Jakarta: Gema Insani, cet.
4, 2001.
Amin Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta:
Gama Media. 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai pustaka, 2005.
Handayani , Christina S. dan
Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara,
cet. I, 2004.
------------------, Kuasa Wanita Jawa, Yogjakarta : PT LKIS pelangi aksara,cet. II, 2008.
Ibad M.N.,
Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek,
Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011.
Magnis Franz,
Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Muslikhati Siti, Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan, Jakarta : Gema Insani,
2004.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2011/09/08/553/Ciri-Perempuan-Ideal-dalam-Budaya-Jawa.html 31
maret 2013 jam 18.35 WIB.
![]() |
BIODATA PEMAKALAH
A.
Nama : Ikha
Ruqmahayunita
NIM : 113511016
TTL : Jepara, 27 Januari 1994
Alamat : Ds.
Bandengan RT 14 RW 04 Jepara
Pendidikan :
SD/MI : SDN Bandengan 02 Jepara
SMP/MTS : SMPN 02 Jepara
SMA/MA : SMAN 01 Jepara
PT : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi : Kreasi seni
rupa
Email : ikha.ruqma27@gmail.com
Media Sosial : www.facebook.com/ikha27
Handphone : 085727989223
Moto Hidup : Smile you, don’t
cry
B.
Nama : Muhimmatul
Aliyah
NIM : 113511021
TTL : Jepara, 11
Agustus 1993
Alamat : Jepara
Pendidikan :
SD/MI : MI Mabadil Huda Banjaran Jepara
SMP/MTS : MTSN Bawu Jepara
SMA/MA : MA Hasyim Asy’ari Jepara
PT : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi : Membaca
Email : a2muhalya1193@yahoo.com
Media Sosial : Leeya
Weasley
Handphone : 085799286698

C.
Nama : Sofia Sekar
Anggreavi
NIM :
123511072
TTL :
Surakarta, 22 Juni 1994
Alamat :
Jl. Karonsih Timur IX, Semarang
Pendidikan :
SD/MI :
SDN Ngalian Kampus 07
SMP/MTs :
SMPN 18 Semarang
SMA/MA :
SMAN 6 Semarang
PT :
IAIN Walisongo Semarang
Hobi :
Menggambar dan Menonton Film
Email :
sofiasekar34_12ipa4@yahoo.com
Media Sosial : twitter @ofi_sekar dan fb Ofi Ratmaya
Handphone : 085727681494
Moto Hidup : Talk less, Do More
![]() |
[1] Abdul
Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar-ah fi ‘Ashrir Risalah, diterjemahkan
oleh Chairul Halim, Kebebasan Wanita jilid 1, (Jakarta: Gema Insani,
2001), cet. 4, hlm. 67.
[2] Franz
Magnis, Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003,
hlm. 11
[3] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai
pustaka, 2005, hlm. 1268.
[4] Melayu yang dimaksud
adalah satu rumpun yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, termasuk suku Jawa.
[5] Christina S. Handayani
dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: PT LKIS pelangi
aksara, 2008, cet.II, hlm. 29.
[7] Siti Muslikhati, Feminisme
dan Pemberdayaan Perempuan, Jakarta :
Gema Insani, 2004, hlm. 112-113.
[8] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai
pustaka, 2005, hlm. 854.
[13] M.N.
Ibad, Kekuatan Perempuan dalam
Perjuangan Gus Dur-Gus Miek, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011,
hlm 13
[14] http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2011/09/08/553/Ciri-Perempuan-Ideal-dalam-Budaya-Jawa.html 31
maret 2013 jam 18.35 WIB.
[15] Christina S. Handayani dan Ardhian
Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogjakarta : PT LKIS pelangi aksara, 2004, cet. I, hlm 130.
[21]Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta:
Gama Media. 2000, hlm.68