Senin, 29 April 2013

Wanita dalam Budaya Jawa



MAKALAH
Wanita Dalam Budaya Jawa

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam Dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu  : M. Rikza Chamami, M.SI









Disusun oleh:

Ikha Ruqmahayunita        NIM. 113511016
Muhimmatul Aliyah          NIM. 113511021
Sofia Sekar Anggreavi     NIM. 123511072


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013


Wanita dalam Budaya Jawa
I.                   PENDAHULUAN
Menjadi wanita ataupun pria di dunia ini bukanlah suatu pilihan, namun menjadi hal yang hak yang diberikan Allah SWT pada makhluknya. Dalam kajian Jawa, wanita sering disebut sebagai kanca wingking. Di mana seorang wanita menggantungkan seluruh jiwa-raganya pada sang suami. Mereka bertugas meladeni sang suami dan tak terkecuali tugas mendidik anak-anaknya.
Dewasa kini banyak orang meneriakkan tentang emansipasi wanita. Namun tak sedikit dari mereka yang kurang memahami arti dari emansipasi yang telah diperjuangkan pahlawan wanita dari Jepara, R.A Kartini. Mereka hanya melihat dalam sisi wanita bukan lagi sebagai alat sang suami, sehingga mereka dapat meninggikan jabatan di atas laki-laki, akan tetapi melupakan kodratnya sebagai wanita Jawa.
Oleh karena hal tersebut, penulis bermaksud mengkaji tentang wanita dalam budaya Jawa. Seorang wanita dapat mengejar karier atau cita-citanya tanpa melupakan kodrat yang telah ditentukan Allah SWT. Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah disebutkan firman Allah tentang keseimbangan antara hak dan kewajiban Istri yang artinya “... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(al-Baqarah: 228)[1]
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian wanita Jawa?
2.      Bagaimana peranan wanita Jawa?
3.      Bagaimana karakteristik wanita Jawa?
4.      Bagaimana kekuasaan wanita  Jawa?

III.             PEMBAHASAN
1.      Pengertian Wanita Jawa
Penduduk asli Ibukota Jakarta berbicara dalam dialek Melayu-Betawi. Di bagian selatan dan tengah Jawa Barat berbicara dengan bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian Utara dan Timur sudah lama dihuni imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa aslinya. Namun bahasa Jawa yang digunakan di dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat sampai ke Cirebon cukup berbeda dalam arti bahasa Jawa yang sebenarnya. Orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.[2]
 Wanita ialah perempuan dewasa.[3] Dalam buku Kuasa Wanita Jawa disebutkan bahwa kata wanita lebih digunakan daripada kata perempuan karena kata tersebut lebih dekat dengan kesadaran praktis masyarakat Jawa. Kata wanita berasal dari kata wani yang berarti berani, dan ditata yang berarti diatur. Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur.
Dalam buku yang sama, ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar mengungkapkan bahwa wanita berasal dari kata wani yaitu berani dan tapa yaitu menderita. Wanita merupakan sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Misalnya adalah seorang wanita Jawa yang rela menjalankan laku tapa dengan berpuasa atau berpantang demi anak dan suaminya.
Selama ini kita sering beranggapan wanita Jawa adalah wanita yang dipingit, jauh dari peradaban. Namun anggapan tersebut dapat dibantah dengan pengertian bahwa wanita Melayu[4] sebenarnya berperan secara tradisional aktif. Masyarakat tidak mengeyahkannya masuk pingitan ke dalam rumah. Mereka diizinkan melakukan kegiatan ekonomi seperti berdagang di pasar ataupun bekerja di sawah layaknya laki-laki. Dalam hal tersebut tentu wanita dan laki-laki menikmati status sosial yang relatif sama.[5]
Wanita dalam pengertian perempuan dewasa merupakan sosok yang mampu menyelesaikan masalahnya, mampu berfikir logis, juga siap dengan tugas-tugas sebagaimana seorang wanita pada umumnya. Wanita bukan lagi seorang perempuan sebagaimana sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun wanita disini telah mempunyai tanggung Jawab penuh terhadap tugas-tugas yang di embannya yang mana nanti akan menuju pada kodratnya yaitu sebagai ibu rumah tangga.[6]
2.      Peranan Wanita Jawa
Dalam kaitan dengan realitas, sering muncul pertanyaan, “Mengapa diciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan ?.” Untuk  menjawab pertanyaan ini kita dapat melihat makna dari surat Al-Baqarah: 30, “Wanita dan pria diciptakan oleh mitra yang diberi tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupan. Keduanya juga diberi tanggung jawab untuk mengelola alam semesta beserta seluruh isinya.[7]
Peran adalah keikutsertaan secara aktif, partisipasi, ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan.[8] Kata peran dalam wanita Jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif sesuai adat istiadat Jawa. Berbagai peran tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
1.      Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
Dalam budaya Jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis dari masyarakat Jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa ngrumati  (merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.[9]
2.      Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
Peran wanita Jawa terutama ibu mendapatkan pemujaaan  penuh  dari orang-orang Jawa. Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di Jawa mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan, hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[10]
Sebagai simbol moralitas, kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung Jawab, wanita yang posisinya sebagai ibu memikul beban idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan dirinya menjadi figure dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
Hal tersebut terjadi karena sejak awal pertumbuhan sebagai pribadi, sosok pertama yang dikenali anak hanyalah ibu, sebab dalam budaya Jawa ibu mengemban tugas utama untuk mengemban dan mendidik  anak. Oleh sebab itu mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat dengan ibu, setia padanya, menjadi sesutau yang amat penting untuk menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya (kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
3.       Wanita berperan dalam ketergantungan anak laki-laki
Dalam hal ketergantungan, biasanya anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita. Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita daripada wanita bergantung pada laki laki. Hal tersebut menunjukan bahwa pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
4.      Wanita Jawa sebagai konco wingking dan garwa
Konsep paternalistik yang berkembang dalam masyarakat Jawa menjadikan wanita sebagai konco wingking. Seorang sesepuh Dusun Klutuk secara tegas mengatakan : “ mulo bukane wong wedok ki konco wingking seko kitab suci. Naliko Gusti Allah nitahake manungso sing sepisan kuwi sing dititahake wong lanang dhisik, bar kuwi nembe wong wadon sing dijupuk saka igane bapa Adam sing sisih kiwa. Wis mung iga, sisih kiwa pisan. Pokoke wong wdok ki drajate luweh cendhek tinimbang wong lanang. Upama tangan tiba tangan kiwa, upama awak tiba bokong.”[11]
Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita sebagai konco wingking berlaku sebagi kondisi sak prayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya Jawa. Tampaknya, ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya berkembang dalam arena publik orang Jawa. Jadi secara publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki ataupun wanita Jawa sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
 Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan melihat situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka lebar kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai konsep-konsep tersebut. Konco wingking misalnya menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, atau kurang menentukan. Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan menjadi apa film itu nanti.
Dalam kehidupan sehari-hari jelas bahwa wanita berperan besar di dalam keluarga dan masyarakat. Wanita begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan dalam keluarga karena anggapan umum bahwa apiking suami gumantung istri, apiking anak gumantung ibu (baik tidaknya suami tergantung dari istri, baik tidaknya anak tergantung dari ibu). Dominasi konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa) dimaknakan pada wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri (wanita) merupakn cerminan kepribadian, keberhasilan, bahkan kegagalannya sendiri sehingga seorang wanita berusaha keras garis hidup anak dan suaminya baik untuk mencapai surga.[12]
3.      Karakteristik Wanita Jawa
Dalam sebuah buku karangan M.N. Ibad menceritakan, meskipun surga adalah hunian super mewah dengan segala fasilitas yang super lengkap, namun Adam a.s tak bisa menjalani kehidupan disana sendirian. Ia butuh sosok perempuan yang kehidupannya seperti dirinya. Sosok yang tidak hadir dalam diri bidadari, yang nyata, yang menjadi tempat berkeluh kesah dan bisa merasakan apa saja seperti yang dirasakan. Oleh karena itu, Allah SWT menciptakan Hawa sebagai pasangannya. Makhluk yang dilengkapi hati dan pikiran, indera dan pikiran, indera dan jasad yang sama seperti dirinya.[13] Hal ini menunjukkan wanita sangat berpengaruh dalam hidup laki-laki.
Pada hakikatnya perempuan dikenal lemah lembut,cantik, emosional dan keibuan. Karakteristik tersebut yang mengawali timbulnya ciri-ciri wanita ideal terutama dalam kebudayaan di Jawa. Didalam kebudayaan Jawa, wanita sering disimbolkan sebagai “pedharingan” alias periuk. Dahulu periuk adalah tempat menyimpan beras atau menanak nasi. Ini diartikan sebagai fungsi perempuan untuk menyimpan harta benda yang dicari suami, kemudian mengolahnya untuk kelangsungan hidup keluarga. Fungsi tersebut sebagaimana seorang sutradara yang berperan di belakang layar. Dimana seorang istri sangat berpengaruh dalam menentukan keputusan rumah tangga. Berikut ciri perempuan ideal yang dikutip dari Serat Candraning Wanita[14] :
a.    Mrica Pecah atau Butiran Mrica yang Pecah
Perempuan dalam kategori ini adalah perempuan yang digambarkan sebagai perempuan yang berbadan ramping dan padat, dengan kulit putih dan dada yang montok. Sifat dari ciri utama perempuan ini adalah kemampuannya yang dengan mudah dapat diterima di berbagai kalangan, tapi sangat rapat menyimpan rahasia. Perempuan seperti ini dikatakan akan membawa kebahagiaan kepada pasangan yang memiliki kedudukan yang tinggi, karena kemampuannya untuk mendampingi suami dalam berbagai kesempatan sekaligus kemampuannya untuk dapat menutup mulut dan menjaga kehormatan suami.
b.   Surya Sumurup atau Matahari Tenggelam
Bagikan semburat jingga di langit ketika mentari tenggelam, perempuan seperti ini membawa keindahan dan menampilkan keindahan yang luar biasa. Tidak hanya indah secara fisik, tapi juga dipercaya mampu menjadi kebanggaan pasangan karena kesetiaan luar biasa yang dimilikinya. Ciri fisik perempuan ini adalah bibirnya yang berwarna merah jambu, dengan sorot mata yang agak kebiruan. Rambut di dahi digambarkan kuncup seperti bunga turi, dan alis perempuan dalam tipe ini digambarkan memiliki alis yang melengkung indah seperti bulan sabit. Bukan hanya secara fisik dan kesetiaan, bahkan digambarkan, perempuan ini sanggup memberikan perlawanan yang berarti dalam urusan pertarungan asmara.
c.    Menjangan (Macan) Ketawan atau Kijang (Harimau) Tertawan
Perempuan seperti ini digambarkan memiliki sifat yang siap dan akan selalu memberikan perlawanan yang pas bagi pasangannya, sehingga sang pasangan tidak akan pernah merasa bosan karena bersanding dengan perempuan seperti ini bagaikan petualangan menyenangkan dan selalu memberikan kejutan yang menarik untuk di selami. Secara fisik perempuan seperti ini memiliki gambaran wajah yang cerah ceria, mata yang terbuka lebar dan terlihat bersemangat, kulit yang bercahaya, memiliki sifat yang keras, tapi murah hati dan selalu menolong. Fisik perempuan dalam kategori ini tergolong agak besar walaupun tidak berarti tegap. Wanita dalam golongan seperti ini tidak mudah tergoda dan mampu memberikan kehangatan kepada pasangannya.
Menurut versi lain tentang karakteristik wanita atau perempuan dalam budaya Jawa tercantum dalam buku Kuasa Wanita Jawa karangan Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto bahwa disebutkan karakteristik wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa yaitu[15] :
a.        Bertutur Kata yang Halus
b.        Tenang atau Kalem
c.         Tidak Suka Konflik atau Mementingkan Harmoni
d.        Menjunjung Tinggi Nilai Keluarga
e.         Mampu Mengerti dan Memahami Orang Lain
f.         Sopan
g.        Pengendalian Diri Tinggi dan Terkontrol
h.        Daya Tahan untuk Menderita Tinggi
i.          Memegang Peranan Secara Ekonomi
j.          Setia atau Loyalitas Tinggi
4.      Kedudukan Wanita Jawa
Dalam kultur Jawa terdapat beberapa adat yang bersifat paternal. Pertama, aturan perceraian tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) saat perceraian suami mendapat dua bagian dan istri mendapat satu bagian. Kedua, konsep sepikul segendongan dalam pemabagian warisan maka anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan satu bagian. Ketiga, adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak Namun dalam praktiknya ikatan dan konsepsi itu jarang dilakukan.[16]
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sistem pertalian masyarakat Jawa adalah bilateral. Pertalian keluarga simetris terhadap paternal dan maternal. Keturunan dihitung secara sama di antara saudara dari kedua jenis, laki-laki maupun wanita dan masing-masing mempunyai hak mewarisi harta dari pihak ibu dan bapak. Konsep bilateral ini lebih tampak dalam kehidupan sehari-hari daripada konsep paternal. Misalnya, konsepsi garwo (istri) tidak hanya sebagai konco wingking melainkan juga  diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa/separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa memberi gambaran posisi sejajar dan lebih egaliter. Karena suami istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas.[17]
Sosok ibu (wanita) dalam kultur Jawa memiliki posisi yang sangat penting sekaligus dipandang sebagai pusat rumah yang selalu dipercaya dan dihormati lebih dari segalanya. Sedangkan posisi bapak lebih menjadi simbol dunia luar yang harus ditaklukkan dan tidak selalu terkait dengan moral.[18]
Berdasarkan konsep yang berkembang dalalm kultur Jawa bahwa ibu adalah simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri suami dan anak-anaknya serta kekuatan feninitasnya yang luar biasa untuk menopang, melindungi, dan sumber inspirasi nagi anak-anak. Wanita Jawa strategi untuk bisa mendapatkan kedudukan dan pengaruh dalam kekuasaan melakukan penaklukan diri ke dalam dengan cara memangku dan mengabdi total pada keluarga.[19]
Apabila kaum laki-laki sudah merasa dipangku dan merasa ketergantungan dengan kaum wanita maka apapun yang menjadi keinginan wanita tersebut akan dipenuhi. Secara tidak sadar hal tersebut bisa mempengaruhi hal-hal yang berhubungan dengan urusan publik walaupun melalui jalur non publik. Contoh yang paling mudah adalah kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ide pembuatan TMII dilontarkan oleh Tien Soeharto. Pada tahun 1971-an anggaran pemda sangat minim. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut, Ali Sadikin yang waktu itu menjadi gubernur DKI Jakarta melegalkan kasino, membuka tempat hiburan dan pelacuran. Ia mengatakan upaya ini bagian dari melayani masyarakat. Selain anggaran pemda yang tidak ada, pembangunannya juga ditentang masyarakat dan didemo mahasiswa. Akan tetapi TMII tetap berdiri sampai sekarang ini. Hal ini membuktikan wanita yang berada di sektor domistik atau privat dapat mempengaruhi kebijakan publik formal yang mestinya harus melalui berbagai tahapan sidang di lembaga eksekutif maupun legislatif. [20]
Pada hakikatnya pandangan hidup orang Jawa khususnya wanita Jawa. Yaitu dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individual yang homogen, serta di dalamnya Allah selalu memberikan keselamatan.[21]
IV.             KESIMPULAN
Wanita Jawa adalah perempuan Jawa dewasa yang berbahasa ibu Bahasa Jawa dan tinggal di bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Jadi tidak semua wanita yang tinggal di pulau Jawa disebut wanita Jawa. Wanita Jawa mempunyai beberapa peranan diantaranya:
1.   Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
2.   Surya Sumurup atau Matahari Tenggelam
3.   Menjangan (Macan) Ketawan atau Kijang (Harimau) Tertawan.
Wanita Jawa adalah sosok perempuan dewasa yang berani diatur serta berani menderita, yang bersesuaian dengan konsep karakteristik wanita Jawa dalam kultur Jawa sendiri yaitu bertutur kata yang halus, tenang atau kalem, tidak suka konflik atau mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi dan terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia atau loyalitas tinggi.
V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat memberi manfa’at untuk penulis khususnya dan untuk pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari pembaca untuk karya-karya penulis selanjutnya. Akhir kata, kami sebagai pemakalah memohon maaf apabila ada kesalahan dalam isi makalah maupun sistematika penulisan makalah ini. Terimakasih.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuqqah , Abdul Halim, Tahrirul Mar-ah fi ‘Ashrir Risalah, diterjemahkan oleh Chairul Halim, Kebebasan Wanita jilid 1, Jakarta: Gema Insani, cet. 4, 2001.
Amin  Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media. 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai pustaka, 2005.
Handayani , Christina S. dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara, cet. I, 2004.
------------------,  Kuasa Wanita Jawa,  Yogjakarta : PT LKIS pelangi aksara,cet. II, 2008.
Ibad M.N.,  Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek, Yogyakarta : Pustaka Pesantren,  2011.
Magnis Franz, Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Muslikhati Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, Jakarta :  Gema Insani, 2004.












 
BIODATA PEMAKALAH

A.    Nama                     : Ikha Ruqmahayunita
NIM                      : 113511016
TTL                       : Jepara, 27 Januari 1994
Alamat                  : Ds. Bandengan RT 14 RW 04 Jepara
Pendidikan                        :
SD/MI         : SDN Bandengan 02 Jepara
SMP/MTS   : SMPN 02 Jepara
SMA/MA    : SMAN 01 Jepara
PT               : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi                      : Kreasi seni rupa
Email                     : ikha.ruqma27@gmail.com
Media Sosial         : www.facebook.com/ikha27
Handphone           : 085727989223
Moto Hidup          : Smile you, don’t cry

B.     Nama                     : Muhimmatul Aliyah
NIM                      : 113511021
TTL                       : Jepara, 11 Agustus 1993
Alamat                  : Jepara
Pendidikan                        :
SD/MI         : MI Mabadil Huda Banjaran Jepara
SMP/MTS   : MTSN Bawu Jepara
SMA/MA    : MA Hasyim Asy’ari Jepara
PT               : IAIN WaliSongo Semarang
Hobi                      : Membaca
Email                     : a2muhalya1193@yahoo.com
Media Sosial         : Leeya Weasley
Handphone           : 085799286698
Moto Hidup          : Jadi diri sendiri dan jangan pernah putus asa.

       
C.     Nama                     : Sofia Sekar Anggreavi
NIM                      : 123511072
TTL                       : Surakarta, 22 Juni 1994
Alamat                  : Jl. Karonsih Timur IX, Semarang
Pendidikan            :
            SD/MI       : SDN Ngalian Kampus 07
            SMP/MTs  : SMPN 18 Semarang
            SMA/MA  : SMAN 6 Semarang
            PT              : IAIN Walisongo Semarang
Hobi                      : Menggambar dan Menonton Film
Email                     : sofiasekar34_12ipa4@yahoo.com
Media Sosial         : twitter @ofi_sekar dan fb Ofi Ratmaya
Handphone           : 085727681494
Moto Hidup          : Talk less, Do More



 


[1] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar-ah fi ‘Ashrir Risalah, diterjemahkan oleh Chairul Halim, Kebebasan Wanita jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2001), cet. 4, hlm. 67.
[2] Franz Magnis, Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 11
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai pustaka, 2005, hlm. 1268.
[4] Melayu yang dimaksud adalah satu rumpun yang tinggal di kawasan Asia Tenggara, termasuk suku Jawa.
[5] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: PT LKIS pelangi aksara, 2008, cet.II, hlm. 29.
[6] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. II, hlm. 24.
[7] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan, Jakarta :  Gema Insani, 2004, hlm. 112-113.
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai pustaka, 2005, hlm. 854.
[9] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. II, hlm.42.
[10] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. II, hlm.42
[11] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. II, hlm.117

[12] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. II,  hlm.145-146.
[13] M.N. Ibad,  Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek, Yogyakarta : Pustaka Pesantren,  2011,  hlm 13
[15] Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto,  Kuasa Wanita Jawa,  Yogjakarta : PT LKIS pelangi aksara, 2004, cet. I, hlm 130.
[16] Christina S. Handayani, Ardhian novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. I , hlm. 119.
[17] Christina S. Handayani, Ardhian novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. I,  hlm. 120.
[18] Christina S. Handayani, Ardhian novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. I,  hlm. 199.
[19] Christina S. Handayani, Ardhian novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. I , hlm. 202.
[20] Christina S. Handayani, Ardhian novianto, Kuasa Wanita Jawa, cet. I , hlm. 4.
[21]Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media. 2000, hlm.68